Kasus Lumpur Lapindo
Lapindo yang dimiliki oleh Bakrie Group ini memang memiliki sumberdaya politik ekonomi yang dapat perpengaruh di Indonesia, bahkan Bakrie Group dapat menciptakan opini public mengenai lumpur Lapindo itu sendiri melalui media yang dimiliki. Pada 22 Oktober 2008 Lapindo Brantas mengadakan siaran pers mengenai hasil para ahli geologi di London. Pada konfrensi tersebut Lapindo menyewa perusahan Public Relation untuk mengabarkan bahwa peristiwa tersebut bukan dari kesalahan Lapindo. Lapindo mengeluarkan statement bahwa kejadian tersebut akibat dari bencana alam, akan tetapi sejumlah ahli geolog dan LSM yang peduli terhadap kasus lumpur Lapindo ini tetap menganggap bahwa kejadian pengeboran Lapindo yang menjadi pemicu tragedi tersebut. Lapindo terus menutupi fakta dengan berbagai cara termasuk membuat iklan serta memecah belah warga melalui masalah ganti rugi hal tersebut dilakukan untuk mengarahkan pada opini publik yang memojokkan.
Pelanggaran Kode Etik
Dari kasus tersebut, maka PR
Lapindo Brantas dapat dinyatakan telah melanggar kode etik profesi Public Relations,
yaitu
:
a. Pasal
2 mengenai Penyebaran informasi ; “seorang anggota tidak akan menyebarluaskan,
secara sengaja dan tidak bertanggungjawab, informasi yang palsu atau yang
meyesatkan, dan sebaliknya justru akan berusaha sekeras mungkin untuk mencegah
terjadinya hal tersebut. Ia berkewajiban menjaga dan ketepatan informasi.”.
Lapindo dikatakan melanggar pasal tersebut karena Lapindo menyebarkan informasi
yang tidak sesuai dengan fakta.
b. Pasal
3 mengenai Media Komunikasi ; “seorang anggota tidak akan melaksanakan kegiatan
yang dapat merugikan integritas media komunikasi”. Lapindo dapat dikatakan
melanggar pasal berikut karena Lapindo yang merupakan milik Bakrie Group dapat
menciptakan opini public sendiri mengenai lumpur Lapindo itu sendiri melalui
media yang dimiliki sehingga informasi yang diberikan meskipun tidak sesuai
dengan kenyataan tetapi tidak menjatuhkan citra Lapindo.